Salah satu fitnah paling besar tentang syiah adalah terkait isu nikah mut’ah. Dalam fitnah yang sering disebarluaskan, dikatakan bahwa syiah telah menghalalkan zina, karena dianggap nikah mut’ah sama dengan zina.
Padahal mereka yang memfitnah itu juga mengetahui bahwa dalam keyakinan semua mazhab, DULU Rasulullah saww pernah menghalalkan nikah mut’ah. Nah, logika sederhananya, jika dulu nikah mut’ah pernah dihalalkan apakah mungkin nikah mut’ah itu sama dengan zina, apalagi bahkan zina dengan istri orang lain?
Tanpa disadari, tudingan itu itu sama saja dengan menuduh Rasulullah saww pernah membolehkan zina. Nauzubillah! Itu benar-benar sama saja melakukan fitnah yang sangat besar pada Rasulullah saww.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ kedua-nya berkata, “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah (utusan) Rasulullah Saw, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.’
Bisa dibaca hadits itu dalam kitab Imam Al-Bukhari, hadits 5115-7, kitab Al-Nikah, bab Nahy Rasulillah saw ‘an Nikah Al-Mut’ah Akhiran; dan Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, hadits 3302-5, kitab Al-Nikah, bab Nikah Al-Mut’ah
Itulah fakta sejarah yang diungkapkan dalam kitab-kitab Sunni, bahwa pada masa Nabi saww (hingga masa kekhalifahan Abu bakar), nikah mut’ah dilakukan oleh para sahabat nabi. Apakah berarti mereka berzina? Nauzubillah. Semoga orang-orang yang mendefinisikan nikah mut’ah = zina segera bertaubat.
***
Dalam kitab-kitab Sunni dijelaskan juga bahwa, pernikahan mut’ah ini mulai dilarang pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, yang mana beliau berpidato di hadapan khalayak:
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya.
Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.”
Silakan baca kutipan pidato di atas dalam Muhammad Fakhr Al-Din Al-Razi, Tafsir Al-Fakhr Al-Razi, juz 10, h. 51, QS. Al-Nisa’ [4]:24, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1981 M, 1401 H
***
Mengapa syiah menghalalkan Nikah Mut’ah?
Alasannya karena syiah berpandangan bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh AlQuran maka hukumnya tidak boleh berubah (diubah) oleh siapapun, sampai hari kiamat.
AlQuran menetapkan dalam surat An-Nisa ayat 24:
“Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban ….”
(QS. Al-Nisâ’ [4]: 24)
AlQuran adalah sumber hukum tertinggi dan karenanya tidak dapat dihapuskan dengan hukum yang lebih rendah (misalnya oleh ijtihad sahabat atau fatwa khalifah).
Itulah sikap syiah terhadap nikah mut’ah. Argumennya adalah hukum yang ditetapkan Allah swt dan Rasulullah saww tidak boleh diubah oleh manusia (sekalipun oleh fatwa khalifah).
Lalu, juga perlu disadari, bahwa hukum nikah mut’ah ini hanya “Boleh”. Bukan “mustahab (sunnah)” apalagi “wajib”, seperti yang sering ditudingkan kepada syiah.
Karenanya sekalipun syiah menghalalkan nikah mut’ah, bukan berarti otomatis semua orang syiah mengamalkannya. Ini lebih ke persoalan menegakkan posisi hukum dalam Islam, karena hukum harus mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia.
Dan lagi pula, nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Ada syarat-syarat dan ketentuannya yang tak jauh beda dengan nikah daim (permanen), seperti harus ada izin dari wali (ayah), harus ada akad dan mahar, ketika terjadi perceraian ataupun batasan waktu pernikahan sudah berakhir, masa iddah nya adalah selama 2 kali siklus haid, dsb.
Nikah Mut’ah Menurut Organisasi Syiah
Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban. Tidaklah mengapa atas hal lain yang kalian sepakati selain kewajiban (awal), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 24)
Al-Khazin (salah seorang mufasir Sunni) menjelaskan definisi nikah mut’ah sebagai berikut,
“Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selesai dengan memastikan kesuciannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya, dan tidak ada hak waris antara keduanya………” (Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, tafsir Al-Khazin, juz 1, h.361-2, cet. 1, dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2004 M / 1425 H)
Ibnu Hajar mendefinisikan nikah mut’ah,
“Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan dipahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 9, h. 72, tahkik Abd Al-Qadir Syaibah Al-Hamd, Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah, Riyadh, Saudi, 2001 M / 1421 H)
Sedangkan nikah mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait, adalah seperti definisi di atas.
Tentang Kebolehan Nikah Mut’ah
Larangan dilakukan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khatthab, yaitu ketika beliau menjabat sebagai khalifah, dimana beliau berpidato di hadapan khalayak,
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya.
Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” (baca dalam Muhammad Fakhr Al-Din Al-Razi, Tafsir Al-Fakhr Al-Razi, juz 10, h. 51, QS. Al-Nisa’ [4]:24, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1981 M, 1401 H)
Nikah mut’ah dalam Syiah, bukan asal kawin. Tetapi ia memiliki aturan-aturan dan tata krama tersendiri yang membuat persoalan itu sakral seperti laiknya nikah daim (permanen).
Pada semua nikah disebut mut’ah (bersenang-senang atau menikmati). Kata “mut’ah” bukanlah ciptaan Syiah. Ia ada dalam Alquran bahkan beberapa ayat menggunakan kata istamta’tum (bersenang-senang atau menikmati) yang berasal dari kata kerja lampau istimta’a dan masdar istimta’ yang serumpun.
Dasar Hukum Nikah Mut’ah
2. Hadis Nabi Muhammad Saw
3. Ucapan Para Sahabat Nabi
‘Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah Rasul utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, namun aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan aku tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya hempaskan dengan bebatuan;
Kedua adalah haji tamattu’. Oleh karena itu, maka pisahkanlah pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.’” (Abu Bakar Ahmad bin Al-Husein Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, juz 7, h. 335, bab Nikah Al-Mut’ah, hadits 14169, cet 3, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M / 1424 H)
Kalimat Khalifah Umar, “Sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya hempaskan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’….”
4. Abdullah bin Ma’sud, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya, berkata,
=> Penjelasan Lebih lengkap tentang nikah mut’ah ini juga bisa ikuti dalam diskusi berikut ini